Menelusuri
Wisata di Tapaktuan
Tapaktuan adalah ibu kota dari Kabupaten
Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Kota ini memiliki luas 92,68 km² dengan jumlah
penduduk sekira 22,343 jiwa. Tapaktuan mempunyai makanan khas yaitu ‘Kue Pala. Tapaktuan juga dikenal dengan sebutan Kota Naga.
Topografi kota ini di ketinggian 500 m
dpl membawanya pada iklim tropis basah dengan keindahan alam, gugusan pantai
berkarang, dan teluk yang memesona. Wisata bahari dapat dilakukan di sini,
seperti di Pantai Teluk Tapaktuan dan Pantai Labuhan Haji. Ada pula tujuan
wisata menarik lainnya, yaitu, Wisata Air Dingin, Panorama Hatta, Pulau Dua,
Genting Buaya, Ia Sejuk Panjupian, Air Terjun Twi Lhok, Batu Berlayar, atau Gua
Kalam.
Tapaktuan merupakan kota di pesisir
selatan pantai Aceh yang posisinya strategis dengan pelabuhan alam dan menjadi
basis ekonomi kelautan di Provinsi Aceh. Wilayahnya berbatasan langsung
dengan Kabupaten Aceh Tenggara di utara, di selatan dengan Samudera Indonesia,
di barat dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, dan di timur dengan Kabupaten
Singkil dan Kota Subulussalam.
Tapaktuan dikenal dengan sebutan Kota
Naga dimana berasal dari sebuah Legenda Putri Naga dan Tuan Tapa yang sudah
menjadi sejarah lisan masyarakatnya secara turun temurun. Orang menyebutkan
Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, saat Anda memasuki kota ini, sekira
seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan maka akan melihat
gambar naga tepat di dinding pinggir jalan.
Legenda Naga mengisahkan tentang
sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk (Tapaktuan). Keduanya
diusir dari negeri Tiongkok karena tidak memiliki anak. Suatu ketika kedua naga
ini mendapati sesosok bayi perempuan terapung di lautan kemudian dipelihara
dengan penuh kasih sayang. Beranjak dewasalah bayi tersebut menjadi gadis
cantik yang disayangi pasangan naga tersebut.
Suatu ketika munculah sebuah kapal dari
Kerajaan Asralanoka di India Selatan dimana 17 tahun yang lalu rajanya
kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali gadis itu sebagai
bayinya yang hilang dahulu dan hendak meminta kepada sepasang naga tersebut
untuk mengembalikannya. Akan tetapi, sepasang naga itu menolak sehingga
menimbulkan perkelahian di lautan dan mengusik seorang petapa yang bertubuh
besar dan berdiam di Gua Kalam, yaitu dikenal sebagai Tuan Tapa.
Tuan Tapa yang terusik saat sedang
bertapa segera melerai perkelahian sepasang naga dengan raja dari Kerajaan
Asralanoka. Tuan Tapa meminta sepasang naga untuk mengembalikan sang gadis
kepada orang tuanya. Akan tetapi, kedua naga tersebut menolak dan malah
menantang Tuan Tapa untuk bertarung. Terjadilah perkelahian di laut dimana
kedua naga kalah oleh Tuan Tapa dan gadis pun dikembalikan kepada orang tuanya.
Gadis tersebut kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’ dan kembali
bersama orang tuanya tetapi mereka tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka
melainkan memilih menetap di pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai
cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Naga jantan mati terbunuh akibat
pukulan tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran
menyebar memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan tubuh
naga hancur berkeping-keping menjadi bebatuan hitam berbentuk hati yang saat
ini dapat dilihat membekas di sisi pantai (baca: dikenal sebagai Batu Itam).
Darah naga yang membeku menjadi batu (baca: dikenal sebagai Batu Merah). Begitu
pula sisa pijakan kaki Tuan Tapa nampak terlihat, tongkat dan sorbannya juga
turut membatu hitam beberapa ratus meter dari kedua tapak kaki sang petapa di
pinggir pantai.
Sementara itu, sang naga betina yang
melihat pasanganya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri Tiongkok.
Sebelumnya, ia mengamuk dengan membelah sebuah pulau menjadi dua (baca:
sekarang Puau Dua) dan memporak-porandakan pulau terbesar hingga menjadi 99
buah pulau kecil tersebar. (baca: saat ini gugusan pulau tersebut dikenali
sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil).
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit,
seminggu kemudian meninggal pada Ramadhan tahun 4 Hijriyah. Jasadnya makamkan
di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan
Padang, Kecamatan Tapaktuan. Hingga saat ini makam manusia keramat itu sering
dikunjungi peziarah dalam dan luar negeri. Makamnya sendiri pernah mengalami
beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda.
Makam
Tuan Tapa Terdapat di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan di depan Mesjid Tuo.
Dalam pertarungan antara Tuan Tapa dengan Dua ekor Naga karena memperebutkan
Ptroe Bungsu, Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang
Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali
ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di
Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Ukuran
jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada
di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di
dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang
berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak